ANALISIS TRADISI “BUKA LUWUR” BERDASARKAN TEORI FUNGSIONAL
Oleh: Shiva Fauziah
I.
PENDAHULUAN
Saat
ini, para ahli kebudayaan mengungkapkan keprihatinannya terhadap sejumlah
warisan budaya masa lalu yang sedikit demi sedikit mulai terkena dampak dari
globalisasi, yaitu masuknya budaya luar yang dapat menggeser eksistensi budaya
nusantara. Hal tersebut terlihat dengan semakin sedikitnya generasi muda yang
mengenal dan memahami budayanya sendiri. Eksistensi suatu kebudayaan agar tidak
hilang dan punah tergerus perkembangan dan kemajuan zaman hendaknya selalu
diwariskan kepada generasi penerusnya, yaitu generasi muda. Nah, agar suatu
kegiatan kebudayaan dapat terus berjalan dan dilestarikan, tentu karena
kegiatan tersebut memiliki fungsi dan nilai-nilai atau motivasi tertentu di
dalam sebuah masyarakat. Dijalankannya suatu kegiatan pasti memiliki tujuan dan
fungsi tertentu dalam masyarakat. Demikian pula tradisi Buka Luwur pada
massyarakat kota Kudus, dapat terus lestari hingga sekarang tentu saja memiliki
fungsi yang sangat besar pada masyarakat pelakunya. Untuk itu, akan dilakukan
analisis berdasarkan teori fungsionalisme terhadap tradisi Buka Luwur
tersebut.
II.
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tradisi Buka Luwur
Buka Luwur adalah upacara tradisi yang terdapat di kota Kudus berupa prosesi penggantian luwur atau kain mori yang digunakan
untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup
Makam Sunan Kudus. Upacara ini sifatnya massal, dilaksanakan di Tajug Masjid
Menara Kudus, di desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, pada setiap
tanggal 10 Asyuro (Muharram) yang konon bertepatan dengan wafatnya Sunan Kudus.
Dengan demikian, setiap tanggal 10 Asyuro telah ditetapkan sebagai waktu
pelaksanaan khaul (ulang tahun
wafatnya) Sunan Kudus untuk setiap tahunnya. Buka Luwur atau Buka Luhur
adalah sebutan masyarakat untuk upacara ini, yang artinya membuka pusaka
leluhur (Hartatik tt:355).
Ritual Buka
Luwur dimulai dengan pembacaan do’a yang dilakukan di tajug atau pendopo
yang terletak di kompleks Makam Sunan Kudus. Tajug ini berbentuk segi empat
yang bermotifkan bangunan Jawa, model atap yang berundak-undak dengan empat
tiang penyangga di tiap sisinya yang terbuat dari kayu jati sedangkan lantainya
dari keramik yang diatasnya terhampar karpet bermotif masjid. Peserta ritual Buka
Luwur duduk di seputar tajug dan mengelilingi luwur yang nantinya akan
dipasang. Peserta ritual ini kesemuanya berjenis kelamin laki-laki yang
berjumlah antara 50-70 orang. Peserta ritual Buka Luwur adalah Ulama
atau Kyai, tokoh masyarakat, Pemda, DPRD, Pengurus Perhimpunan Pemangku Makam
Auliya (PPMA) dan tamu undangan lain.
Puncak upacara
yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Asyura (Muharram) ini adalah khaul (ulang
tahun wafatnya) Sunan Kudus, karena di dalam prosesi upacaranya selalu diikuti
oleh pembacaan tahlil yang dipimpin oleh Imam Besar Masjid Menara yang diikuti
oleh semua peserta upacara tersebut. Luwur yang semula berada di tengah-tengah
tajug kemudian diarak oleh peserta ritual Buka Luwur menuju makam Sunan
Kudus yang berada di sisi utara tajug diiringi dengan lantunan sholawat. Hanya
beberapa orang saja yang bisa masuk ke bagian utama Makam Sunan Kudus untuk
memasang luwur di Makam dan Nisan Sunan Kudus, sementara peserta ritual lainnya
berada di luar bagian utama makam Sunan Kudus. Setelah prosesi pemasangan
selesai dilanjutkan dengan pembacaan do’a tahlil.
Upacara ritual Buka
Luwur ini diakhiri dengan do’a yang dibacakan oleh Kyai yang paling senior
di Kudus. Peserta mengamini setiap kali Kyai selesai membacakan do’a. Setelah
do’a penutup dibacakan, para peserta ritual Buka Luwur meninggalkan area
makam Sunan Kudus. Di depan pintu keluar tampak 5 orang panitia membagikan nasi
jangkrik yang dibungkus dengan daun jati dan ditaruh dalam keranjang. Selain
untuk masyarakat yang mengikuti prosesi upacara, nasi jangkrik itu juga
diperuntukkan bagi para donatur, tamu undangan, serta panitia penyelenggara.
Karena jumlahnya terbatas, menyebabkan sering terjadi rebutan yang menyebabkan
beberapa orang sempat pingsan akibat berdesak-desakan berebut nasi jangkrik
itu. Upacara ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena mereka
menginginkan berkah dari potongan luwur
lama yang diyakini mempunyai banyak khasiat (Falah tt:7).
B. Analisis Tradisi Buka Luwur Berdasarkan Teori Fungsional
Beberapa pihak menganggap, ritual
budaya Buka Luwur ini terlihat tidak memiliki fungsi yang cukup penting
karena hanya merupakan suatu prosesi penggatian kain mori pada makam. Akan
tetapi, budaya ini dapat terus bertahan dan lestari karena ada beberapa fungsi
lain yang diperoleh masyarakat pelakunya, seperti halnya yang diungkapkan oleh
Malinowski. Inti dari teori fungsional menurut Malinowski adalah bahwa segala
aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari
sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya (Kaplan 2002:76).
Kaplan (2002:77) menyebutkan bahwa
asumsi dari teori fungsional adalah bahwa semua sistem budaya memiliki
syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Sebuah
tradisi atau kebudayaan dalam suatu masyarakat dapat lestari jika tradisi tersebut
memiliki fungsi-fungsi tertentu sehingga mampu bertahan. Seperti halnya dalam
tradisi Buka Luwur meskipun terlihat sebagai suatu tradisi yang
nyata-nyata tidak memiliki fungsi karena hanya merupakan prosesi penggantian
kain mori pada makam, dan adanya anggapan-anggapan tertentu bahwa tradisi
tersebut dapat mengarah kepada hal-hal yang justru bertentangan dengan
norma-norma agama, diluar semua itu, tradisi Buka Luwur memiliki fungsi,
motifasi, dan nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh masyarakat pelakunya.
Satu fungsi mendasar dari sebuah
ritual keagamaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Radcliffe-Brown dalam Kaplan
(2002:77) bahwa keberadaan dan keberlakuan sebuah upacara keagamaan dalam suatu
masyarakat adalah kaitannya dengan sumbangan upacara keagamaan tersebut bagi
kerekatan sosial. Suatu ritual keagamaan berfungsi untuk memantapkan
solidaritas sosial. Solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan warga
masyarakat memainkan peranannya yang telah disepakati bersama, yakni memelihara
kadar kebersamaan yang menjadi landasan bagi berlangsungnya sistem sosial.
Adanya ritual Buka Luwur sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan
bagi masyarakat Kauman ini menjadi
sebuah kewajiban untuk ditunaikan. Hal ini yang mendorong seluruh warga untuk
terlibat dalam ritual Buka Luwur. Yang sering terjadi di masyarakat
adalah adanya ketidaknyamanan ketika tidak berpartisipasi dalam ritual Buka
Luwur ini. Sehingga demi menjaga ketertiban di masyarakat, warga pun turut
dalam ritual ini. Perasaan tidak nyaman ketika tidak ikut berpartisipasi
merupakan hal yang wajar. Hal ini sebenarnya lebih didasarkan kepada kebutuhan
untuk menjalin persahabatan atau relasi sosial dengan warga yang lain. Hal ini
sangat perlu bagi masyarakat yang budayanya masih kental dengan gotong royong.
Menurut Person dalam Jhonson (1990:135), agar suatu kebudayaan dapat tetap bertahan, maka suatu
sistem kebudayaan harus mempunyai keempat fungsi AGIL: Adaptation (adaptasi), Goal
Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency
(pemeliharaan pola). Untuk fungsi Integration (integrasi) yaitu sebuah sistem
harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan fungsi
Latency (pemeliharaan pola) bahwa sebuah sistem harus memlengkapi, memelihara,
dan memperbaiki motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan
dan menopang motivasi. Mengenai motivasi, Melihat dari apa yang dilakukan
masyarakat dalam melakukan ritual Buka Luwur dapat dikategorikan bahwa
motivasi yang melandasi ritual tersebut adalah motivasi beragama. Motivasi
beragama sendiri adalah naluri manusia untuk selalu dekat, kembali,
dan meminta pertolongan kepada Tuhan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa ada
kekuatan magis dari mori yang terpasang di makam Sunan Kudus dan juga nasi yang
di bagikan ke masyarakat sehingga mereka rela berdesak-desakkan hanya untuk
mendapatkan sebungkus nasi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat
mempercayai adanya sesuatu kekuatan Tuhan yang berada diluar kekuatan manusia
itu sendiri.
Tujuan utama (Goal
Attainment) sebagaimana konsep AGIL menurut Person dalam Jhonson (1990:135)
diadakannya upacara ini adalah untuk memperingati kebesaran jasa Sunan Kudus,
dalam syiar Islam di Kudus yang pada waktu itu masih didominasi oleh pengikut
agama Hindu. Adanya pembagian nasi jangkrik yang tidak menggunakan lauk daging sapi
sebagai salah satu warisan kearifan Sunan Kudus dalam menjaga toleransi dengan
masyarakat yang masih beragama Hindu pada zamannya, tetapi kemudian diganti
dengan daging kerbau atau daging kambing. Peniadaan
lauk daging Sapi pada Nasi Jangkrik tersebut merupakan salah satu bentuk Adaptation
pada konsepsi AGIL dalam teori fungsionalisme menurut Person.
Upacara ini juga dimaksudkan sebagai
salah satu syiar Islam, yaitu dalam rangka memperingati tahun baru Hijriyah.
Itulah yang menyebabkan diselenggarakannya pengajian umum pada malam hari
sebelum penggantian luwur baru itu dilaksanakan oleh ulama kharismatik yang
ditunjuk oleh Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, bisa ulama
dari daerah Kudus setempat atau ulama dari tempat lain. Fungsi Syiar inilah
yang kemudian dipercaya oleh masyarakat Kudus untuk tetap melestarikan tradisi
ini demi keberlangsungan nuansa relijiusitas masyarakat kota Kudus.
DAFTAR
PUSTAKA
Falah, Reynal,
Moch. Ngemron, dan Moordiningsih. tt. Motivasi dan Nilai Hidup Masyarakat
Kauman Dalam Melakukan Ritual Adat Buka Luwur di Makam Sunan Kudus. Surakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hartatik, Endah
Sri. tt. Upacara – Upacara Tradisi yang Masih Berkembang di Masyarakat
Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah dalam diakses pada 8 Januari 213.
Johnson, Doyle
Paul. 1990. Teori Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.