Total Tayangan Halaman

Jumat, 18 Januari 2013


ANALISIS TRADISI “BUKA LUWUR” BERDASARKAN TEORI FUNGSIONAL
Oleh: Shiva Fauziah

I. PENDAHULUAN
Saat ini, para ahli kebudayaan mengungkapkan keprihatinannya terhadap sejumlah warisan budaya masa lalu yang sedikit demi sedikit mulai terkena dampak dari globalisasi, yaitu masuknya budaya luar yang dapat menggeser eksistensi budaya nusantara. Hal tersebut terlihat dengan semakin sedikitnya generasi muda yang mengenal dan memahami budayanya sendiri. Eksistensi suatu kebudayaan agar tidak hilang dan punah tergerus perkembangan dan kemajuan zaman hendaknya selalu diwariskan kepada generasi penerusnya, yaitu generasi muda. Nah, agar suatu kegiatan kebudayaan dapat terus berjalan dan dilestarikan, tentu karena kegiatan tersebut memiliki fungsi dan nilai-nilai atau motivasi tertentu di dalam sebuah masyarakat. Dijalankannya suatu kegiatan pasti memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam masyarakat. Demikian pula tradisi Buka Luwur pada massyarakat kota Kudus, dapat terus lestari hingga sekarang tentu saja memiliki fungsi yang sangat besar pada masyarakat pelakunya. Untuk itu, akan dilakukan analisis berdasarkan teori fungsionalisme terhadap tradisi Buka Luwur tersebut.

II. PEMBAHASAN
A.    Deskripsi Tradisi Buka Luwur
Buka Luwur adalah upacara tradisi yang terdapat di kota Kudus berupa prosesi penggantian luwur atau kain mori yang digunakan untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup Makam Sunan Kudus. Upacara ini sifatnya massal, dilaksanakan di Tajug Masjid Menara Kudus, di desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, pada setiap tanggal 10 Asyuro (Muharram) yang konon bertepatan dengan wafatnya Sunan Kudus. Dengan demikian, setiap tanggal 10 Asyuro telah ditetapkan sebagai waktu pelaksanaan khaul (ulang tahun wafatnya) Sunan Kudus untuk setiap tahunnya. Buka Luwur atau Buka Luhur adalah sebutan masyarakat untuk upacara ini, yang artinya membuka pusaka leluhur (Hartatik tt:355).
Ritual Buka Luwur dimulai dengan pembacaan do’a yang dilakukan di tajug atau pendopo yang terletak di kompleks Makam Sunan Kudus. Tajug ini berbentuk segi empat yang bermotifkan bangunan Jawa, model atap yang berundak-undak dengan empat tiang penyangga di tiap sisinya yang terbuat dari kayu jati sedangkan lantainya dari keramik yang diatasnya terhampar karpet bermotif masjid. Peserta ritual Buka Luwur duduk di seputar tajug dan mengelilingi luwur yang nantinya akan dipasang. Peserta ritual ini kesemuanya berjenis kelamin laki-laki yang berjumlah antara 50-70 orang. Peserta ritual Buka Luwur adalah Ulama atau Kyai, tokoh masyarakat, Pemda, DPRD, Pengurus Perhimpunan Pemangku Makam Auliya (PPMA) dan tamu undangan lain.
Puncak upacara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Asyura (Muharram) ini adalah khaul (ulang tahun wafatnya) Sunan Kudus, karena di dalam prosesi upacaranya selalu diikuti oleh pembacaan tahlil yang dipimpin oleh Imam Besar Masjid Menara yang diikuti oleh semua peserta upacara tersebut. Luwur yang semula berada di tengah-tengah tajug kemudian diarak oleh peserta ritual Buka Luwur menuju makam Sunan Kudus yang berada di sisi utara tajug diiringi dengan lantunan sholawat. Hanya beberapa orang saja yang bisa masuk ke bagian utama Makam Sunan Kudus untuk memasang luwur di Makam dan Nisan Sunan Kudus, sementara peserta ritual lainnya berada di luar bagian utama makam Sunan Kudus. Setelah prosesi pemasangan selesai dilanjutkan dengan pembacaan do’a tahlil.
Upacara ritual Buka Luwur ini diakhiri dengan do’a yang dibacakan oleh Kyai yang paling senior di Kudus. Peserta mengamini setiap kali Kyai selesai membacakan do’a. Setelah do’a penutup dibacakan, para peserta ritual Buka Luwur meninggalkan area makam Sunan Kudus. Di depan pintu keluar tampak 5 orang panitia membagikan nasi jangkrik yang dibungkus dengan daun jati dan ditaruh dalam keranjang. Selain untuk masyarakat yang mengikuti prosesi upacara, nasi jangkrik itu juga diperuntukkan bagi para donatur, tamu undangan, serta panitia penyelenggara. Karena jumlahnya terbatas, menyebabkan sering terjadi rebutan yang menyebabkan beberapa orang sempat pingsan akibat berdesak-desakan berebut nasi jangkrik itu. Upacara ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena mereka menginginkan  berkah dari potongan luwur lama yang diyakini mempunyai banyak khasiat (Falah tt:7).

B.     Analisis Tradisi Buka Luwur Berdasarkan Teori Fungsional
Beberapa pihak menganggap, ritual budaya Buka Luwur ini terlihat tidak memiliki fungsi yang cukup penting karena hanya merupakan suatu prosesi penggatian kain mori pada makam. Akan tetapi, budaya ini dapat terus bertahan dan lestari karena ada beberapa fungsi lain yang diperoleh masyarakat pelakunya, seperti halnya yang diungkapkan oleh Malinowski. Inti dari teori fungsional menurut Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Kaplan 2002:76).
Kaplan (2002:77) menyebutkan bahwa asumsi dari teori fungsional adalah bahwa semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Sebuah tradisi atau kebudayaan dalam suatu masyarakat dapat lestari jika tradisi tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu sehingga mampu bertahan. Seperti halnya dalam tradisi Buka Luwur meskipun terlihat sebagai suatu tradisi yang nyata-nyata tidak memiliki fungsi karena hanya merupakan prosesi penggantian kain mori pada makam, dan adanya anggapan-anggapan tertentu bahwa tradisi tersebut dapat mengarah kepada hal-hal yang justru bertentangan dengan norma-norma agama, diluar semua itu, tradisi Buka Luwur memiliki fungsi, motifasi, dan nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh masyarakat pelakunya.
Satu fungsi mendasar dari sebuah ritual keagamaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Radcliffe-Brown dalam Kaplan (2002:77) bahwa keberadaan dan keberlakuan sebuah upacara keagamaan dalam suatu masyarakat adalah kaitannya dengan sumbangan upacara keagamaan tersebut bagi kerekatan sosial. Suatu ritual keagamaan berfungsi untuk memantapkan solidaritas sosial. Solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan warga masyarakat memainkan peranannya yang telah disepakati bersama, yakni memelihara kadar kebersamaan yang menjadi landasan bagi berlangsungnya sistem sosial. Adanya ritual Buka Luwur sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan bagi masyarakat Kauman  ini menjadi sebuah kewajiban untuk ditunaikan. Hal ini yang mendorong seluruh warga untuk terlibat dalam ritual Buka Luwur. Yang sering terjadi di masyarakat adalah adanya ketidaknyamanan ketika tidak berpartisipasi dalam ritual Buka Luwur ini. Sehingga demi menjaga ketertiban di masyarakat, warga pun turut dalam ritual ini. Perasaan tidak nyaman ketika tidak ikut berpartisipasi merupakan hal yang wajar. Hal ini sebenarnya lebih didasarkan kepada kebutuhan untuk menjalin persahabatan atau relasi sosial dengan warga yang lain. Hal ini sangat perlu bagi masyarakat yang budayanya masih kental dengan gotong royong.
Menurut Person dalam Jhonson (1990:135), agar suatu kebudayaan dapat tetap bertahan, maka suatu sistem kebudayaan harus mempunyai keempat fungsi AGIL: Adaptation (adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency (pemeliharaan pola). Untuk fungsi Integration (integrasi) yaitu sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan fungsi Latency (pemeliharaan pola) bahwa sebuah sistem harus memlengkapi, memelihara, dan memperbaiki motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Mengenai motivasi, Melihat dari apa yang dilakukan masyarakat dalam melakukan ritual Buka Luwur dapat dikategorikan bahwa motivasi yang melandasi ritual tersebut adalah motivasi beragama. Motivasi beragama sendiri adalah naluri manusia untuk selalu dekat, kembali, dan meminta pertolongan kepada Tuhan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa ada kekuatan magis dari mori yang terpasang di makam Sunan Kudus dan juga nasi yang di bagikan ke masyarakat sehingga mereka rela berdesak-desakkan hanya untuk mendapatkan sebungkus nasi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat mempercayai adanya sesuatu kekuatan Tuhan yang berada diluar kekuatan manusia itu sendiri.
Tujuan utama (Goal Attainment) sebagaimana konsep AGIL menurut Person dalam Jhonson (1990:135) diadakannya upacara ini adalah untuk memperingati kebesaran jasa Sunan Kudus, dalam syiar Islam di Kudus yang pada waktu itu masih didominasi oleh pengikut agama Hindu. Adanya pembagian nasi jangkrik yang tidak menggunakan lauk daging sapi sebagai salah satu warisan kearifan Sunan Kudus dalam menjaga toleransi dengan masyarakat yang masih beragama Hindu pada zamannya, tetapi kemudian diganti dengan daging kerbau atau daging kambing. Peniadaan lauk daging Sapi pada Nasi Jangkrik tersebut merupakan salah satu bentuk Adaptation pada konsepsi AGIL dalam teori fungsionalisme menurut Person.
Upacara ini juga dimaksudkan sebagai salah satu syiar Islam, yaitu dalam rangka memperingati tahun baru Hijriyah. Itulah yang menyebabkan diselenggarakannya pengajian umum pada malam hari sebelum penggantian luwur baru itu dilaksanakan oleh ulama kharismatik yang ditunjuk oleh Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, bisa ulama dari daerah Kudus setempat atau ulama dari tempat lain. Fungsi Syiar inilah yang kemudian dipercaya oleh masyarakat Kudus untuk tetap melestarikan tradisi ini demi keberlangsungan nuansa relijiusitas masyarakat kota Kudus.

DAFTAR PUSTAKA

Falah, Reynal, Moch. Ngemron, dan Moordiningsih. tt. Motivasi dan Nilai Hidup Masyarakat Kauman Dalam Melakukan Ritual Adat Buka Luwur di Makam Sunan Kudus. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hartatik, Endah Sri. tt. Upacara – Upacara Tradisi yang Masih Berkembang di Masyarakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah dalam diakses pada 8 Januari 213.
Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
 Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar...