Total Tayangan Halaman

Senin, 25 Oktober 2010

Menggagas Kembali Teori pers Pancasila

A. Pendahuluan
Seiring dengan laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, pers di Indonesia mengalami perkembangan yang demikian pesat. Liberalisasi dan globalisasi pun ternyata ikut andil bagi pergerakan pers di Indonesia. Hal itu dikarenakan berbagai media cetak dan stasiun televisi luar negeri bebas masuk dengan leluasa ke Indonesia. Apakah Indonesia telah menganut pers liberal? Apakah pers liberal cocok di terapkan di Indonesia dan sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia? Padahal, cita-cita sebagai Negara liberal tidak pernah ada di benak founding fathers kita.

Pada masa orde baru, telah di perkenalkan apa yang disebut dengan Pers Pancasila. Pers Pancasila di jadikan sebagai pedoman bagi perkembangan pers di Indonesia. Seiring berkembangnya waktu, keberadaan pers di Indonesia masa orde reformasi ini, mulai kehilanag arah dan pedoman. Mengingat keberadaan pancasila yang hingga saat ini masih berfungsi sebagai dasar filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tidak ada salahnya jika kita menengok kembali kepada Pancasila untuk mendapatkan pedoman serta arahan bagi perkembangan Pers di Indonesia.

B. Teori Pers
Siebert Peterson, memperkenalkan sistem pers yang ada di dunia dan terkenal hingga sekarang yang ditulis dalam buku Four Theories of The Press. Mereka menyatakan bahwa setiap Negara di dunia pasti memiliki kecenderungan untuk menganut salah satu atau perpaduan antara beberapa teori pers tersebut.

Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi. Untuk melihat sistem-sistem sosial dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada sistem pers adalah perbedaan filsafat.

1. Teori Pers Otoritarian
Muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang –orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. 

Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan. Praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar Negara komunis.

Pers Otoritarian (Authoritrian Press) Pers Otoritarian identik dengan situasi dimana kebenaran dianggap sebagai milik para pemegang kekuasaan. Tidak perduli apakah kebijkan sang penguasa tersebut menindas rakyat atau sebagainya, karena kekuasaan adalah segalanya. Masa ini muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans Eropa, beberapa waktu setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam kondisi masyarakat seperti itu, kebenaran adalah suatu hal yang dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, melainkan dari sekelompok kecil para pemegang tangguk kekuasaan. 

Intinya kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Penguasa dalam menjalankan kekuasaannya menggunakan pers sebagai alat untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus penguasa pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja tergantung dari bagaimana pers tersebut menjalankan fungsinya, apakah mendukung atau malah membelot dari kebijakan pemerintah. Kegiatan penerbitan lembaga pers pada masa ini haruslah mengacu pada kontrak persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit. Isi perjanjianpun selalu menyamping pada kepentingan penguasa, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli kepada penerbit dan yang terakhir memberikan dukungan terhadap kebijakan penguasa. 

Yang lebih ironis ialah para pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan yang telah disepakati sebelumnya. Penguasa pun memiliki hak untuk menyensor isi pemberitaan yang akan diterbitkan. Hal ini jelas kontras dengan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan juga dalam menyampaikan kebenaran objektif kepada masyarakat. Informasi yang diterbitkan adalah kontaminasi dari kepentingan para pemegang kekuasaan. 

Secara umum, pers masa Otoritarian memiliki ciri antara lain sebagai berikut:
  1. Kebenaran adalah milik pemegang kekuasaan.
  2. Pers diatur oleh penguasa sehingga pers kehilangan fungsinya sebagai media kontrol terhadap pemerintahan.
  3. Isi pemberitaan harus mendukung kebijakan pemerintah dan tidak boleh membelot dari kepentingan penguasa.
  4. Penguasa memiliki kewenangan untuk menyensor isi pemberitaan sebelum dicetak.
2. Teori Pers Liberal
Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.

Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers. Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.

Dalam teori Libertarian, pers bukanlah lagi instrument pemerintah yang dijadikan alat penopang kekuasaan melainkan berperan sebagai kontrol pemerintahan. Pers pada masa ini berperan sebagai sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. 

Teori Libertarian lahir pada saat tumbuhnya demokrasi politik dan paham kebebasan yang berkembang pada abad ke-17. Hal ini muncul sebagai akibat revolusi industri dan digunakannya sistem ekonomi laissez-faire.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam perjalanannya terdapat banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah terdapat pers. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963[6].

Demikian halnya dengan Era Orde Baru (Soeharto) kasus pembredelan pun enggan berlalu, represi diterapkan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers pada 1972, dan ijinnya dicabut karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen. Masih banyak kasus yang lain hingga puncaknya pada 1998 saat terjadinya aksi unjuk rasa besar-besaran mahasiswa, pers dianggap membesarkan isu kerusuhan.

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa. Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab social sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :
  1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
  2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.
  3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.
  4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,
  5. Menyediakan hiburan.
  6. Mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.
Teori ini berkembang sebagai akibat kesadaran pada abad ke-20, dengan berbagai macam perkembangan media massa (khususnya media elektronik), menuntut kepada media massa untuk memiliki suatu tanggung jawab social yang baru. Teori Tanggungjawab sosial punya asumsi utama : bahwa kebebasan pers mutlak, banyak mendorong terjadinya dekadensi moral. Oleh karena itu, teori ini memandang perlu adanya pers dan system jurnalistik yang menggunakan dasar moral dan etika. 

4. Teori Pers Komunis
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi , dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.

Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir.

Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa.Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media. Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai.Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai.Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai.

Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi.Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan.Tugas pokok pers dalam system pers komunis adalah menyokong, menyukseskan, dan menjaga kontinuitas system social Soviet atau pemerintah partai. Dan fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan masyarakat dari cita-cita partai.

Antara teori totalitarian dengan teori otoritarian sama-sama menggunakan kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai.Dalam hal ini, pers Soviet harus melakukan apa yang terbaik bagi partai dan mendukung partai sebagai sikap dan perbuatan moral yang berorientasi pada kepentingan rakyat (manifestasi kehendak rakyat). Teori ini berpegang pada asas kebenaran berdasarkan teori Marxis. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, yang dalam hal ini adalah partai komunis. Dimana “Partai Komunis” tersebut dalam pengertian Marxis adalah rakyat. Berdasarkan pemahaman itu pers harus mengikuti kebenaran rakyat, yaitu partai yang substansinya adalah pemerintah.

C. Teori Pers Pancasila
Negara sebagai sebuah kesatuan wilayah, sebuah kesatuan politik yang memiliki otonomi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara warga negaranya dapat dikatakan sebagai sebuah sistem makro yang mencakup beragam sistem-sistem lain didalamnya. Sudah sebuah kewajiban mutlak bagi sebuah negara untuk mampu melindungi, mengatur, dan menjaga kelangsungan sistem-sistem lainnya yang berada dibawah ruang lingkupnya. Tentunya agar dapat berputar secara seirama. Hal ini dalam kaitannya dengan sebuah peran negara sebagai pengayom Tidak terlepas didalamnya ketika suatu negara harus mampu menjamin kebebasan bagi warga negaranya untuk berekspresi dan berpendapat, sejalan dengan semangat pembaharuan, kebebasan, dan demokrasi yang kerap didengngkan selama ini di seantero jagat.

Pers sebagai sebuah keran untuk menyalurkan, untuk mewujudkan kebebasan itu sudah pasti tentunya harus mendapatkan porsi jaminan yang besar. Dalam mewujudkannya setiap negara pastilah memiliki latar belakang dan cita-cita yang berbeda, ini pulalah yang setidaknya berdampak pada differensiasi pedoman dan aktualisasi peran negara dalam menjamin terus berjalannya sistem – pers yang dipergunakan. Untuk hal yang satu ini Indonesia terbilang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang cenderung mengikuti teori-teori para ahli terkemuka. Indonesia “sekali lagi” mempergunakan nama Pancasila untuk mendefinisikan sistem pers yang dianutnya. Seolah terlihat begitu sakral begitu nama Pancasila dilekatkan. Tetapi benarkah sedemikian hebat nama Pancasila yang digunakan sebagai sistem pers kita?

Hingga kini perdebatan mengenai definisi konsep dari sistem pers Pancasila masih saja terjadi, dan belum mencapai satu kesespakatan pasti. Namun menurut Bappenas sistem pers Pancasila, yaitu pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta lebih meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya antara pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis1. Sepertinya memang sebuah pendefinisian yang bertujuan cukup mapan. Tetapi benarkah demikian? 

Perlu diingat bahwa Pancasila sebagai dasar negara kita sudah terlalu banyak masuk diberbagai sistem dan roda-roda kehidupan. Pancasila jika kita telaah pernah menjadi sesuatu yang sangat diagungkan, bahkan segala yang sedikit saja berseberangan harus rela angkat kaki. Ini pula yang saya anggap justru sedikit menakutkan ketika sistem pers kita menggunakan Pancasila sebagai acuannya. Tidak salah memang jika sebagai sebuah bentuk visi membangun bersama. Namun yang patut kita waspadai bersama, sepertinya ini adalah bentuk lain dari sebuah sistem authoritarian belaka. Bagaimana mungkin pers punya kebebasan jika selama ini hidup kita saja terasa selalu “terkungkung”oleh Pancasila. Sepertinya yang ada justru hal tersebut sebagai bentuk usaha mengemudikan pers kita ke arah tertentu dan mengabaikan arah lainnya. Lantas dimanakah kebebasan itu? Lantas bisakah kita berharap banyak padanya?

Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.

Kebebasan Pers Indonesia baru didapatkan pada era B.J Habibie, setelah 32 tahun pers Indonesia terkungkung oleh aturan yang dikeluarkan pemerintah orde baru, pergerakan pers amat sangat terbatas pada saat itu. Pers Indonesia yang dikenal dengan nama “Pers Pancasila”. Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. 

Jika dilihat dari pengertian Pers Indonesia dan Pers Pancasila seharusnya pers kita pada saat ini sudah berjalan sesuai fungsinya (seperti sudah disebutkan diatas). Tapi yang terjadi saat ini adalah masih adanya ketakutan pers akan pemerintah, misalkan sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padalah di negara demokratis Presiden bukanlah jabatan suci yang tak bisa tersentuh (orang yang hanya menyindir saja sudah di ancam somasi).

Berdasar hal tersebut, perlu kiranya dikaji kembali apakah hakikat Pers Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila? Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan berangkat dari hakikat manusia. Mengapa manusia, karena pelaku pers adalah manusia dan keberadaan pers tidak lain ditujukan untuk manusia. Notonagoro memaparkan hakikat manusia sebagai berikut:
• Susunan Kodrat:
  •  Raga (anorganik, vegetative, animal)
  •  Jiwa (akal, rasa, kehendak)
• Sifat Kodrat
  •  Individual
  •  Sosial
• Kedudukan Kodrat
  • Pribadi Mandiri
  • Makhluk Tuhan
Pers pancasila harus meletakkkan kepentingan individu maupun masyarakat sebagai sosialitas yang lebih luas, secara seimbang an adil. Dengan demikian pemberitaan mengenai sesuatu hal, hendaknya dilakukan secara seimbang. Misalnya terdapat sebuah kasus mengenai seorang pejabat yang mempunyai penerbitan surat kabar tertentu, dan menjadi angota sebuah parpol tertentu.ketika parpol tersebut terlibat kasus money politics, maka hendaknya kasus tersebut diberitakan secara terbuka dalam surat kabar yang dimiliki pejabat tersebut. Nilai keadilan umum, tetap harus diutamakan dalam sebuah pemberitaaan media massa.

Sementara itu, manusia sebagai pelaku subjek pers, seringkali melakukan kesalahan orientasi sikap dan tindakan, ketika berhubungan dengan manusia lain. Fenomena yang berkembang adalah sikap menuhankan manusia lain, dengan ketaatan yang demikian besar. Misalnya ketaatan yang demikian besar yang dimiliki seorang wartawan kepada pemilik saham ia tempat bekerja, sehingga menghilangkan nilai-nilai kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada khalayak. Kemungkinan lain yaitu terdapatnya manusia yang justru memanfaatkan manusai lain demi hal-hal yang sifatnya material. Hal tersebut juga jelas bertentangan dengan hakiakt kodrat manusia serta hakikat hubungan manusai dengan realitas.

Prinsip interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat yang termuat dalam Pers pancasila yang sesungguhnya telah ada sejak masa orde baru, namun tidak pernah dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan pers di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
  1. Diterapkan mekanisme kerja yang menjalin hubungan timbale balik antara pers, pemerintah dan masyarakat.
  2. Dinamika dikembangkan bukan dari pertentangan menurut paham, melainkan atas paham hidup menghidupi, saling membantu dan bukan saling mematikan.
  3. Perludikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan berfungsinya sistemkontrol social dan kritik yang konstruktif secara efektif. Namun demikian control social itu pun substansinya serta caranya tetaptidak terlepas dari asas keselarasan dan keseimbangan serta ketertiban untuk saling hidup menghidupi bukan saling mematikan dalam control yang dilakukan tetap berpijak pada nilai-nilai dalam system Pers Pancasila, termasuk bebas dan bertanggung jawab.
Mengamati dengan cermat prinsip-prinsip interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat seperti tertuang dalam rumusan pers pancasila tersebut, dapat dikatakan bahwa pers pancasila masih sangat relevan untuk dikembangkan dan dijadikan tolok ukur bagi keberadaan pers di Indonesia. Hal ini terutama jika ditilik dari landasan filosofis yang melatarbelakangi keberadaan prinsip-prinsip tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo kasih komentar...